Betapa indahnya Islam memilih kalimat zakat untuk mengungkapkan hak harta yang wajib dibayarkan oleh orang yang kaya kepada orang yang miskin.
Secara etimologi zakat berarti "pensucian" sebagaimana firman Allah:
”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu”. (QS. Asy-Syams: 9),
dan zakat berarti memuji dan menghargai seperti firman Allah:
”Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci”. (QS. An-Najm: 32)
Zakat juga bermakna tumbuh dan bertambah sebagaimana dikatakan zakatuz zar’i artinya tatkala tum-buhan sedang tumbuh merekah dan bertambah. Semua makna di atas akan terlihat jelas tatkala seseorang telah menunaikan zakat sebagaimana yang akan kami jelas-kan dalam kitab ini.
Ulama syari’ah menjelaskan bahwa yang dimak-sud dengan istilah zakat adalah hak yang berupa harta yang wajib ditunaikan dalam harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu pula.
Zakat adalah hak orang lain bukan pemberian dan karunia dari orang kaya kepada orang miskin. Zakat adalah hak harta yang wajib dibayarkan dan syari’at Islam telah mengkhususkan harta yang wajib dikeluar-kan serta kelompok orang yang berhak menerima zakat, juga menjelaskan secara jelas tentang waktu yang tepat untuk mengeluarkan kewajiban zakat.
Allah Ta’ala memberi dorongan untuk berzakat dengan firmanNya:
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensuci-kan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Dan dari hadits Rasulullah bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah menerima sadaqah dan diambilnya dengan tangan kanan-Nya lalu dikem-bangkan untuk seseorang di antara kalian, seperti seseorang di antara kalian memelihara anak kuda yang dimilikinya, hingga sesuap makanan menjadi sebesar gunung Uhud”. [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh beliau dari Abu Hurairah]
Sebaliknya Allah memberi peringatan keras kepada orang-orang yang tidak menunaikan zakat dengan firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas perak itu dalam Neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari yang kamu simpan itu”. (QS. At-Taubah: 34-35)
Dan Rasulullah menjelaskan tentang bentuk siksa tersebut dalam haditsnya:
“Tidaklah seseorang yang memiliki simpanan harta lalu tidak mengeluarkan zakatnya melainkan akan dipanaskan dalam Neraka Jahannam, lalu dijadikan lempengan-lempengan yang akan disetrikakan di punggung dan dahinya hingga Allah memutuskan perkara di antara hamba-Nya pada suatu hari yang dihitung sehari sama dengan lima puluh ribu tahun”. [Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah]
Pedih dan beratnya siksaan itu dikarenakan hak-hak orang miskin yang tertahan sehingga mereka harus merasakan kepedihan dan kesengsaraan hidup akibat dari ulah orang-orang kaya yang menahan zakat. Islam tidak hanya memberi sanksi di akhirat bahkan di dunia Allah memerintahkan kepada negara untuk mengambil dengan paksa harta zakat dari mereka yang menghalangi zakat.
Dan di antara kelebihan negara Islam adalah negara yang pertama kali dalam sejarah yang mengobarkan peperangan dalam rangka membela hak orang fakir miskin sebagaimana yang terjadi pada zaman pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq dengan tegas beliau memerangi orang-orang yang menghalangi zakat.
Zakat adalah peraturan yang menjamin dan mem-berantas kesenjangan sosial yang tidak bisa hanya ditanggulangi dengan mengumpulkan sedekah per-orangan yang bersifat sunnah belaka.
Tujuan utama disyari’atkan zakat adalah untuk mengeluarkan orang-orang fakir dari kesulitan hidup yang melilit mereka menuju ke kemudahan hidup mereka sehingga mereka bisa mempertahankan kehidupannya dan tujuan ini tampak jelas pada kelompok penerima zakat dari kalangan gharim (orang terlilit hutang) dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam bepergian kehabisan bekal). Zakat juga berfungsi sebagai pembersih hati bagi para penerima dari penyakit hasad dan dengki serta pembersih hati bagi pembayar zakat dari sifat bakhil dan kikir.
Adapun dampak positif bagi perekonomian antara lain mengikis habis penimbunan harta yang membuat perekonomian tidak normal, paling tidak akan terjadi inflasi tiap tahun sebesar 2½%, dengan membayar zakat maka peredaran keuangan dan transaksinya berjalan secara normal dan akan mampu melindungi stabilitas harga pasar walaupun pasar terancam oleh penimbunan.
Zakat Fitrah
A. Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah setelah matahari terbenam akhir bulan Ramadhan dan lebih utama jika dibayarkan sebelum keluar shalat Idul Fitri dan boleh dibayarkan dua hari sebelum hari raya 1 , demi menjaga kemaslahatan orang fakir. Dan haram mengakhirkan pembayaran zakat fitrah hingga habis shalat dan barangsiapa melakukan perbuatan tersebut, maka harus menggantinya.[2]
B. Seorang muslim wajib membayar zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab-nya seperti isterinya, anaknya, dan pembantunya yang muslim. Akan tetapi boleh bagi seorang isteri atau anak atau pembantu membayar zakat sendiri.
C. Kadar zakat fitrah yang harus dibayar [3] adalah satu sha’ dari makanan pokok negara setempat, dan satu sha’ untuk ukuran sekarang kira-kira 2,176 kg (keten-tuan ini sesuai makanan pokok gandum).
Dan kita bisa menggunakan tangan untuk menjadi takaran dengan cara kita penuhi kedua telapak tangan sebanyak empat kali. Karena satu mud sama dengan genggaman dua telapak tangan orang dewasa dan satu sha’ sama dengan empat mud.
Contoh: Seseorang mempunyai satu isteri dan empat orang anak serta satu pembantu muslim, berapa dia harus membayar zakat fitrah untuk mereka?
Dengan ukuran sha’ dia harus membayar 7 x 1 sha’ = 7 sha’
Dengan takaran atau timbangan sekarang berupa gandum: 7 x 2,176 kg = 15,232 kg atau lima belas kilo dua ratus tiga puluh dua gram.
Dan dengan kita meraup gandum dengan dua tela-pak tangan: 7 x 4 = 28 kali raupan dari makanan pokok baik berupa korma, gandum, anggur kering, susu ke-ring, jagung atau beras.
D. Dianjurkan mengeluarkan zakat dengan makanan [4] , Imam Abu Hanifah membolehkan membayar dengan uang dan ini pendapat yang lebih mudah terlebih bagi lingkungan industri.[5]
Kadar nilai zakat disesuaikan dengan harga makan-an pokok masing-masing negara, jika seseorang ingin membayar zakat dengan korma sebanyak dua puluh kilo, maka hendaknya dia harus menanyakan harga kor-ma per kilo untuk ukuran korma sedang, lalu dihitung dengan mata uang setempat.
Yang Berhak Menerima Zakat
- Kefaqiran dan Kekurangan
- Orang yang Tidak Mampu Bekerja dan Pengangguran yang Terpaksa
- Biaya Pengumpulan dan Pembagian Zakat
- Orang yang Diharapkan Keislamannya
- Pemerdekaan Budak dan Pembebasan Sandera
- Membayar Utang Orang-orang yang Terhimpit utang
- Jihad dan Perang di Jalan Allah
- Orang yang Sedang Bepergian dan Mendapat Kecelakaan
- Fakir adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk para pegawai kelas rendah yang berpenghasilan kecil.
- Miskin adalah orang yang tidak mampu berusaha atau berkarya lagi [6] karena cacat atau gangguan lain seperti orang buta, lumpuh atau pengangguran yang tidak terelakkan.
- Amil pengelola zakat yaitu orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menangani pengumpulan, penghitungan dan pembagian zakat.
- Mu’allaf adalah orang yang diharapkan keIslamannya atau orang yang goyah keislamannya. Boleh memberikan zakat kepada non muslim yang terlihat ada kecenderungan terhadap Islam atau orang-orang yang baru masuk Islam agar tetap teguh dalam memeluk Islam.
- Budak untuk sekarang ini bagiannya boleh disalurkan untuk melepas tawanan atau sandera [7] Islam yang ditawan oleh musuh Islam sebagaimana pendapat Imam Ahmad.
- Gharim adalah orang yang terhimpit oleh utang sementara tidak ada harta untuk pengembalian utang tersebut, dengan syarat hutang tersebut untuk keperluan hal-hal yang mubah.
- Fi Sabilillah adalah orang-orang yang tertahan di medan jihad dalam rangka menegakkan agama Allah.
- Ibnu Sabil adalah orang yang sedang bepergian yang tidak mampu melanjutkan perjalanan karena sedang kehabisan bekal, kehilangan atau kecopetan, termasuk juga anak-anak jalanan dan gelandangan.
Dalil syar’i
Dalil syar’i dari pembagian kelompok di atas berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengeta-hui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 60)
Orang-orang yang tidak boleh menerima zakat
- Orang kaya, yaitu orang yang berkecukupan atau mempunyai harta yang sampai senisab.
- Orang yang kuat yang mampu berusaha untuk mencukupi kebutuhannya dan jika penghasilannya tidak mencukupi, maka boleh mengambil zakat.
- Orang kafir di bawah perlindungan negara Islam ke-cuali jika diharapkan untuk masuk Islam.
- Bapak ibu atau kakek nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yang mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggungjawabnya.
Dibolehkan menyalurkan zakat kepada selain mereka seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dan bibi dengan syarat mereka dalam keadaan membutuhkan.
Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam me-nyalurkan zakatnya dan berusaha sesuai dengan anjuran syari’at, setelah berusaha dan berhati-hati ternyata keliru atau kurang tepat, maka dia dimaafkan dan tidak diperintahkan untuk mengulangi dalam membayar zakat tersebut.
Jika tidak berhati-hati dalam menyalurkan zakatnya kemudian ternyata salah penempatan tidak sampai pada yang berhak, maka dia wajib mengulangi dalam membayar zakat .
Menurut ijma’ para ulama dibolehkan menyalurkan zakat ke daerah lain asalkan daerah tempat tinggalnya sudah tidak membutuhkan lagi. Jika memang kondisi sangat membutuhkan seperti salah seorang kerabat yang tinggal di daerah lain membutuhkan atau daerah lain lebih membutuhkan karena kemiskinan atau kelapar-an seperti yang terjadi di Afrika atau jihad di Afganistan atau kemiskinan yang terjadi di Banglades.
Dibolehkan mendahulukan pembayaran zakat dua tahun sebelum datang waktu haul (putaran tahun zakat) [8] ada pun mengakhirkan setelah datang waktu pembayaran tidak boleh, kecuali ada maslahat tertentu yang jelas, seperti mengakhirkan pembayaran zakat karena menunggu orang fakir yang sedang merantau jauh atau kerabat yang sedang membutuhkan.
Zakat tidak gugur karena ditunda-tunda, barang-siapa yang bertahun-tahun tidak membayar zakat, maka dia harus membayar zakat seluruh tahun yang telah berlalu dan belum dibayarkan zakatnya.
Sebaiknya seseorang yang memberikan zakat ke-pada orang fakir tidak memberitahukan kepadanya bahwa pemberian tersebut adalah harta zakat, demikian itu untuk menjaga perasaannya.
Sebagian ulama [9] membolehkan membayar zakat dengan piutang, artinya jika seseorang mempunyai piutang pada orang lain sementara orang tersebut susah hidup, maka boleh piutang tersebut dibebaskan sebagai zakat yang dibayarkan kepada orang tersebut karena demikian itu sama halnya membayar zakat kepada orang yang sedang membutuhkan.
CATATAN KAKI
[1] Menurut madzhab Hambali boleh mengeluarkan zakat setelah pertengah-an bulan Ramadhan, pendapat ini lebih mempermudah khususnya bagi negara yang menangani langsung pembayaran zakat fitrah, atau jika yang menangani itu yayasan-yayasan sosial, sehingga mempermudah mereka dalam pengumpulan dan pembagiannya pada hari Ied.
[2] Lihat Nailul Authar, 4/195. Fiqhuz Zakah: 1/155.
[3] Dalam zakat fitrah tidak mengenal nisab, di saat ada kelebihan dari kebutuhan makanan pada malam hari raya untuk dirinya dan keluarga-nya, maka seseorang wajib membayar zakat fitrah.
[4] Para ulama madzhab tiga (Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad) tidak membo-lehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang.
[5] Fiqhuz Zakah , 1/949. Penulis pernah membuat semacam ide yang disampaikan lewat mimbar pada tahun 1404 H. hendaknya zakat fitrah dikelola oleh pemerintah atau Lembaga Islam kemudian disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan baik di dalam maupun luar negeri khususnya negara-negara yang terkena krisis seperti negara Afrika atau Asia yang banyak menderita kelaparan. Apalagi kristenisasi sangat gencar dengan berkedok bantuan sosial berupa makanan atau obat-obatan untuk bantuan kelaparan dan bencana alam dimanfaatkan untuk pemurtadan sehingga banyak di antara kaum muslimin yang keluar dari Islam hanya karena sesuap nasi seperti yang terjadi di Indonesia.
Jika zakat fitrah tersebut bisa dikumpulkan setelah pertengahan bulan Ramadhan, maka sangat mungkin zakat fitrah tersebut disalurkan kepada yang berhak pada waktu itu juga. Dengan demikian pada saat hari raya orang-orang kelaparan bisa merasa kenyang dan kecukupan, bila tidak apa mungkin seseorang dipaksa bergembira di hari raya sementara kela-paran melilitnya.
[6] Miskin diambil dari kata sukun yang berarti tidak mampu bergerak.
[7] Jika ada budak, maka zakat digunakan untuk memerdekakan budak.
[8] Demikian itu berdasarkan tindakan Abbas yang pernah mendahulukan pembayaran zakat pada zaman Rasulullah. Madzhab Hanafi tidak memberi batasan tahun yang boleh didahulukan (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 2/29-30).
[9] Di antara mereka adalah Al Hasan Al Basr, ‘Atha’ dan Ibnu Hazm, lihat Al-Muhalla, 5/105
Dinukil dari “Panduan Praktis Menghitung Zakat” di situs www.alsofwah.or.id
0 Komentar